Example 650x100

Buton Utara, sebaran.com — Cagar Budaya Benteng Bangkudu di Kecamatan Kulisusu, Kabupaten Buton Utara (Butur), Sulawesi Tenggara, kini menjadi sorotan publik.

Dugaan adanya aktivitas galian liar yang merusak kawasan benteng dan aset daerah memicu kekhawatiran masyarakat akan rusaknya warisan sejarah dan budaya nasional.

Sebelumnya, berdasarkan pantauan media ini pada Senin (17/2/2025), ditemukan aktivitas penggalian yang diduga telah memasuki kawasan cagar budaya dan merusak infrastruktur talut yang membatasi area jalan raya dan Benteng Bangkudu.

Benteng ini sendiri telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dengan peringkat skala nasional, menjadikannya bagian penting dari identitas dan kekayaan sejarah Kabupaten Butur.

Dugaan perusakan ini tak hanya menyalahi etika pelestarian budaya, namun juga berpotensi melanggar hukum. Berdasarkan Pasal 406 KUHP, pelaku perusakan dapat dikenai pidana penjara hingga 2 tahun 8 bulan.

Example 970x970

Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan ancaman lebih berat, yakni hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

Menanggapi situasi ini, Camat Kulisusu, Sukman Tarima, menyatakan pihaknya tengah menelusuri informasi tersebut lebih jauh dan akan memanggil pihak yang terlibat.

Ia juga berjanji untuk berkoordinasi dengan instansi terkait guna memastikan status resmi dan perlindungan kawasan cagar budaya tersebut.

Di tengah polemik tersebut, Hasan Wiridin, pihak yang disebut-sebut bertanggung jawab atas penggalian, akhirnya angkat bicara.

Ia dengan tegas membantah tudingan bahwa dirinya merusak cagar budaya dan aset milik pemerintah daerah.

“Kawasan cagar budaya masih berjarak lebih dari 100 meter dari lokasi yang kami garap. Tudingan bahwa kami merusak cagar budaya itu fitnah,” ucap Hasan saat ditemui media ini di kediamannya, Senin malam (7/4/2025).

Hasan menjelaskan bahwa lahan yang saat ini tengah digarap adalah milik pribadi, dengan sertifikat tanah resmi yang diterbitkan oleh BPN Buton Utara pada tahun 2011 dan ditandatangani oleh Laode Asrafil.

Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun bagian dari kegiatan pematangan lahannya yang memasuki wilayah cagar budaya.

Terkait adanya aset pemerintah seperti talut dan jalan, Hasan memaparkan bahwa sebelumnya telah terjadi kesepakatan antara keluarganya dan pemerintah daerah.

Ia menyebutkan bahwa orang tuanya pernah diminta oleh Bupati Butur kala itu, Ridwan Zakariah, untuk menghibahkan sebagian lahan demi pelebaran jalan raya, guna mengurangi risiko kecelakaan akibat tikungan dan tanjakan yang berbahaya.

“Orang tua kami menghibahkan sekitar 250 meter tanah tanpa ganti rugi demi kepentingan umum. Sebagai bentuk kesepakatan, tanah lama yang digunakan pun dikembalikan kepada kami,” jelas Hasan.

Menurutnya, penyerahan tanah tersebut dilakukan secara ikhlas, bahkan tanpa permintaan ganti rugi. Di lapangan, hal ini disaksikan langsung oleh Bupati Ridwan Zakariah bersama Kadis PUPR dan Asisten I saat itu.

“Talut yang disebut sebagai aset daerah itu berdiri di atas tanah bersertifikat milik kami. Jadi secara langsung maupun tidak, telah terjadi pertukaran aset yang disepakati secara lisan antara pihak keluarga dan pemda,” tambahnya.

Hasan juga menyatakan bahwa pihaknya tidak mungkin merusak situs budaya yang secara hukum dan moral harus dijaga.

Dia menegaskan pentingnya menjaga kelestarian cagar budaya dan mengajak masyarakat untuk tidak terburu-buru menyimpulkan sesuatu tanpa klarifikasi.

“Dalam agama pun kita diperintahkan untuk tabayyun, mengecek kebenaran informasi sebelum menuduh atau menyebarkannya. Mari kita bangun daerah ini dengan pikiran yang sehat dan bijak,” pungkasnya.

Laporan: Asman Ode