JAKARTA – Di bawah terik matahari Jakarta, ribuan buruh berdiri di tengah riuh suara klakson dan hiruk-pikuk kota. Mereka bukan hanya berdiri untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk jutaan lainnya yang tidak hadir. Hari ini, buruh Jabodetabek bersatu di jantung ibu kota, membawa dua tuntutan yang sudah lama mengendap: kenaikan upah minimum 2025 sebesar 8-10 persen dan pencabutan UU Cipta Kerja.
Namun, aksi ini bukan sekadar soal nominal di slip gaji. Ini adalah perjuangan panjang yang melibatkan rasa frustasi yang semakin menumpuk. Bagi mereka, kenaikan upah bukanlah hadiah, tetapi hak yang seharusnya disesuaikan dengan naiknya biaya hidup yang tak lagi terbendung.
Di bawah pengawasan 1.270 personel gabungan dari Polri, TNI, dan Pemda DKI, para buruh berkumpul di Patung Kuda, sebuah simbol perlawanan yang telah berkali-kali jadi saksi sejarah demonstrasi. Kombes Susatyo Purnomo Condro, Kapolres Metro Jakarta Pusat, menyatakan rekayasa lalu lintas mungkin diberlakukan jika eskalasi meningkat. Namun hingga saat ini, suara mereka tetap damai, meski nyaring.
“Kami ingin aksi ini berlangsung tertib dan damai. Tindakan persuasif dan humanis akan kami utamakan,” ujar Susatyo. Dan memang, sejauh ini, orasi berjalan lancar, namun gema tuntutan mereka semakin berat di udara.
Said Iqbal, Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, memimpin di garis depan. Ia menegaskan bahwa aksi ini hanyalah awal. “Jika pemerintah tidak mendengar, kami siap untuk mogok nasional pada November nanti. Ini bukan ancaman, tetapi realitas jika aspirasi kami terus diabaikan,” ujarnya, seraya mengingatkan bahwa kesejahteraan buruh telah terkikis selama lima tahun terakhir.
Bagi Said, tuntutan kenaikan upah bukanlah sekadar angka. Ini adalah perjuangan untuk memulihkan keseimbangan yang hilang. Buruh merasa tersudut oleh kebijakan yang tidak berpihak, dan UU Cipta Kerja adalah salah satu puncak dari ketidakadilan yang mereka rasakan. “Pidato Bapak Presiden Prabowo menyiratkan keadilan bagi rakyat kecil. Kami berharap itu bukan hanya kata-kata, tetapi tindakan nyata,” kata Said Iqbal penuh harap.
Kota Jakarta hari ini menyaksikan perlawanan yang tak lagi bisa diabaikan. Tidak ada teriakan anarkis, hanya suara berirama dari orator yang bergema. Namun, di balik orasi itu, ada ketegangan yang menggantung di udara. Sebuah pertanyaan sederhana menyelimuti suasana: Apakah pemerintah akan mendengar?
Atau, apakah mogok nasional yang mereka ancam akan menjadi langkah terakhir dalam perang panjang ini? (achmad/jakarta)
Tinggalkan Balasan