Sidrap, Sebaran.com — Kalosi Alau Sabtu, sore, 19 Oktober 2024 itu tak seperti biasanya. Warung-warung kopi penuh. Orang-orang berkerumun di salah satu rumah warga. Mereka menunggu. Ada yang ditunggu.
Datanglah. Muh Yusuf Dollah dan Muh Datariansyah. Pasangan ideal calon bupati dan wakil bupati Sidrap. Bukan hanya sosok. Tapi janji.
Datariansyah, yang biasa disapa Datar, berdiri tegap. Senyumnya meluas, suaranya merdu.
“DOATA siap membawa Sidrap ke arah yang lebih baik,” katanya. Kalimat sederhana tapi bermakna dalam. Setiap katanya seperti angin yang menyapu ladang kering. Membangkitkan harapan.
Program demi program mengalir dari mulutnya. Bukan janji kosong, katanya. “Ini untuk kita, semua,” ia melanjutkan. Warga mendengarkan. Mata berbinar.
Pertama, pajak. PBB untuk warga miskin. Hanya Rp 50.000 yang dilihat di kertas. Sisanya, gratis. “Tanah adalah napas kita,” ucapnya. Napas yang tak boleh tercekik oleh pajak.
Listrik? Jangan khawatir. Rumah yang dayanya 450-900 KWH tak lagi mengeluarkan biaya bulanan. Datar menyebutnya “terang tanpa beban.”
Lalu ada program 1.000 bedah rumah. Rumah yang selama ini hanya menjadi saksi bisu kemiskinan, akan berubah. “Rumah layak, untuk hidup layak,” katanya. Janji ini terdengar seperti rumah impian yang mungkin selama ini hanya ada di angan-angan.
Kesehatan juga masuk radar. Gratis. Plus, mobil antar-jemput siap membawa siapa pun yang sakit ke rumah sakit. “Yang sakit, tak perlu lagi memikirkan ongkos,” Datar menghela napas pelan. Seolah merasakan sendiri beban orang-orang yang tak mampu.
Di depan warga, ia juga bicara soal anak-anak. Seragam gratis. Dari TK hingga SMP. Agar mereka bisa melangkah ke sekolah tanpa terbebani rasa malu karena tak punya seragam baru.
“Jalan dan jembatan adalah urat nadi desa,” katanya lagi. Setiap kecamatan dapat Rp 5 miliar per tahun. Jalan mulus, jembatan kokoh, katanya, adalah jembatan menuju perubahan besar.
Dan ini yang paling menyentuh hati: imam, pegawai syara, dan guru mengaji. Mereka yang menjaga nurani masyarakat, tak lagi harus merogoh kocek dalam-dalam. Tunjangan untuk mereka. Karena “ketenangan batin, tak hanya untuk yang kaya,” begitu katanya.
Desa Kalosi Alau hari itu, tak hanya menerima kunjungan. Mereka menerima harapan yang menjejak. Harapan dari dua sosok yang berjanji, bukan sekadar bicara.
Tinggal, kita tunggu. Janji adalah biji. Jika disiram, dia akan tumbuh. Kalau dibiarkan? Bisa layu di tengah jalan.(*)
Tinggalkan Balasan