Sidrap, Sebaran.com — Malam itu, Jumat, 18 Oktober 2024, Kampung Simae di Kecamatan Baranti, penuh sesak. Seperti sungai yang meluap setelah musim hujan, warga mengalir, berkerumun, bersahut-sahutan. Mereka datang untuk satu tujuan: bertemu langsung dengan calon bupati mereka, H. Mashur. HAMAS NA, nomor urut 3, menjadi pusat perhatian. Dari pelosok desa, dari sudut-sudut dusun, masyarakat Sidrap berbondong-bondong, ingin menyimak dan berdialog.
Salah satu rumah warga di Simae, berubah jadi panggung harapan. Udara malam yang biasanya tenang kini dipenuhi gemuruh suara. Anak-anak berlarian, orang tua bercengkerama, pedagang kaki lima sibuk melayani permintaan. Di sana-sini, obrolan tentang masa depan Sidrap terdengar, mengambang bersama semilir angin yang membawa wangi tanah basah.
H. Mashur, dengan gaya santainya, turun dari panggung kecil yang didirikan seadanya. Senyum ramahnya menjadi sinyal bagi semua yang hadir, “Ini bukan soal saya,” seolah ia ingin berkata. “Ini soal kalian. Soal Sidrap.”
Ia memulai dengan cerita ringan, tapi langsung mengalir ke pokok-pokok program. Suaranya tegas, namun bersahabat. “Macca,” ia membuka program pertama. Pendidikan. Tak akan ada lagi sekolah rusak, janji Mashur. Ia ingin tiap anak Sidrap punya akses ke sekolah yang layak. Teknologi pun masuk ke ruang kelas, mengubah cara belajar. “Beasiswa? Semua yang berprestasi atau kurang mampu, kalian tak perlu khawatir,” katanya, membuat banyak orang tersenyum bangga.
Lalu ia bergeser ke “Mario,” program andalan bagi para petani, nelayan, dan peternak. Di sini, wajah-wajah mulai serius. Harga gabah yang stabil, pupuk yang selalu ada, irigasi yang lancar—kata-katanya bagaikan tetes air di tanah kering. Warga yang hadir, terutama petani, tahu persis apa artinya stabilitas harga. Itu bukan sekadar janji, tapi kehidupan.
Malam semakin dalam, namun antusiasme tak surut. “Madising,” Mashur melanjutkan tentang kesehatan. Tim kesehatan di tiap desa, rumah sakit regional, layanan BPJS gratis—semuanya ia paparkan dengan singkat namun penuh keyakinan. Ia tahu, kesehatan adalah pilar. Tanpa kesehatan, semuanya hanya mimpi.
Tatapan mata warga tertuju padanya. Ada yang mencatat diam-diam, ada yang mengangguk-angguk, ada yang berdiskusi kecil di antara mereka. Mereka tak hanya mendengar. Mereka menyerap. “Madeceng,” ia bicara soal infrastruktur. Jalan desa, jembatan, pasar—semua akan diperbaiki dan dikembangkan. “Sidrap menyala,” ia berkata tentang penerangan jalan, yang memicu tepuk tangan spontan.
Hingga akhirnya ia sampai di “Mabbarakka,” program keagamaan yang ia bungkus dalam bahasa keseharian. Ambulance di tiap masjid, umrah gratis bagi imam, insentif untuk para pengurus masjid—ini bukan sekadar formalitas. Mashur mengerti, di Sidrap, agama dan kehidupan adalah dua sisi dari koin yang sama.
Malam itu, dialog bukan sekadar janji kampanye. Mashur bertutur, masyarakat mendengar, menimbang, dan merasakan. HAMAS NA dengan nomor urut 3 kini bukan sekadar calon. Ia adalah harapan yang mungkin. Dan Simae, di tengah gelap malam yang diterangi pancaran lampu-lampu kecil, menjadi saksi percakapan harapan untuk masa depan Sidrap yang lebih baik.(*)
Tinggalkan Balasan